Jumat, 22 Januari 2010

cerpen lucu

Posting cerpen by: lilik koerniawan
Total cerpen di baca: 915
Total kata dlm cerpen: 2035
Tanggal cerpen diinput: Fri, 15 Jan 2010 Jam cerpen diinput: 11:01 AM
1 Komentar cerpen Warung Soto yu Painah yang biasanya ramai disambangi Kang Parto terlihat sepi. Biasanya jam segini ramai dikunjungi para blantik sapi. Entah pasar baru ramai atau sepi, menjelang hari kurban atau tidak, warung soto selalu penuh sesak. Tapi menjelang siang itu terlihat lengang. Hanya nampak yu Painah di dapur belakang. Karena hanya terbuat dari sekat bambu, gorengan tempe gembus dan tahu sumbat itu pun bisa terlihat menganga kekuningan dari luar. Dan bau gumpalan gandum yang benar-benar mengundang selera itu gampang tercium dari loket pasar. Pantas sekali tukang blantik demen jajan di sana. Selain dalam urusan makanan yu Painah memang jago, dia juga belum lama ‘menjanda’. Suaminya yang hanya bisa nongkrong di warung lama kelamaan tidak betah kalau cuma ngatung dan sejak dua bulan lalu ia minggat tanpa pamit. Untung si Rani, anak semata wayang mereka sudah kawin dan tinggal di Medan. Tapi kadang yu Painah cemas memikirkan si Rani, jangan-jangan suaminya nyusul anaknya ke Lampung. “Kalau sampai bojoku berani nggoda anakku lagi, tak potong kemaluannya!” Yu Painah sering sesumbar ancaman tentang hal itu kepada para pelanggannya. Yah, memang tradisi nikah arisan sering terjadi di lingkungan Desa Njetak. Suaminya memang hanya ‘tubrukan’ orang tua yu Painah agar kehamilannya tidak membuat malu keluarga besar Haji Sanusi, orang terpandang di desa Njetak yang juga adalah kakek si Rani. Dan buntutnya, yu Painah hanya berjodoh dengan suami yang autis. Hanya bisa bersenang-senang dengan dunianya, main judi, mabuk perempuan, dan arak.
***
“Pada kemana to Yu?” Suara kang Parto yang serak mengagetkan yu Painah yang baru asyik berdendang lagunya Hijau Daun. “Wong edan kamu!! Ngagetin aja.” Bentaknya sambil mengacungkan sotil tinggi-tinggi. “Tuh, pada ke warung potong madura. Nonton tipi. Ndak tahu mereka lihat apa. Tapi kata Samiun ada berita heboh di Jakarta.” Jelasnya. “Eleh yu, paling juga heboh tentang pemilu yang ngabisin biaya miliaran rupiah tapi tidak sebanding dengan hasilnya. Apa lagi ngitungnya lewat satelit, itu loh yu lewat internet dan dihubungkan dengan komputer, gagal to itu.” Kang Parto mencoba menjelaskan dengan seksama, padahal omongan yang dia sampaikan itu hasil curi dengar dari Pak RT sewaktu jagongan manten tadi malam. “Bukan To! Berita itu tentang si Tukang Jagal Koruptor. Itu loh orangnya berkumis tebal, rambut item, badannya tegap, kalau bicara tegas, ceplas ceplos, dan guanteng. Tapi aku lupa namane.” Yu Painah sambil menerawang. Ia menghadap langit-langit warung. Ia menghela nafas. Nampaknya yang ada dipikirannya bukan orang yang dimaksud dalam berita. Tapi Pak Guru baru yang sering mampir ke warung dia saban pulang sekolah. Gunaryo namanya. Ia guru bantu di SD sebelah pasar. Dasar ‘janda’ kemayu. “Oh, beliau to.” Kang Parto mengangguk sok tahu sambil menyerobot tempe panas yang menggoda air liurnya. Ia pun cepat duduk dan minta segera di buatkan es kampul –es teh diceplungin jeruk separuh–. Ia menjumput cabai lalap yang berada di dalam bungkusan Koran di depannya. Sedetik kemudian ia mengamati gambar orang di sobekan koran tersebut dengan cerita yu Painah. “Wah, sama persis. Apakah ini orangnya. Siapa namanya ya?” gumamnya dalam hati.
***
“Wah, kalo para petinggi ulahnya seperti itu, kemana bangsa kita mau dibawa?” teriak Maryoto kencang. “Yo jangan ngepal dulu, ndak semua orang jakarta seperti itu.” Dullah cepat menimpali. “Kamu jangan mbela Lah, dia dikenal bersih to. Tegas dalam menjalankan tugas. Bahkan besan presiden dimasukkan ke penjara, apalagi cuma cecunguk senayan. Tapi… ujung-ujungnya gantian dia masuk penjara. Orang macam apa itu? Ibarat menjilat ludah sendiri. Titik!” Samiun menyela dengan nada emosi. Maryoto pun mengangguk setuju. “Tapi biasanya, kalau sudah kadung malu ketahuan belangnya. Ia akan menghalalkan segala cara untuk melindungi diri. Ndak usah jauh-jauh. Si Japra suaminya Painah, setelah dia ketahuan belangnya mau nggagahi Rani ia pun berbohong pura-pura hilang ingatan karena mabok. Padahal ia seharian mbantu aku nukang di rumah Pak RT.” Maryoto pun membuat argumentasi logis. “Iya, tapi jangan keras-keras ah. Kasian yu Painah. Kalau dia dengar gimana?” Seloroh Dullah sambil melirik Maryoto dalam-dalam. “Ah, biarin aja. Toh juga kemaren yu Painah nggelar tahlil dan yasin buat syukuran tepat 40 hari kepergian Japra.” Bela Maryoto. “Hush, kamu ngaco! Kemaren acara buat saudara angkatnya yang baru saja meninggal. Aku yang nrima sms kematiannya dari Bandung kok.” Samiun mbungkam mulut Maryoto. “Udah-udah! Gini saja yang penting setiap dari kita bisa mengambil hikmah dari sebuah peristiwa. Entah mau dari kisah si Japra, penggede-penggede dari Jakarta atau siapapun. Kita musti pinter membaca keadaan. Dan jangan mudah terpancing emosi.” Dullah mencoba melerai kecamuk perbincangan mereka. Ia beringsut duduk di bangku panjang warung yu Painah. Berpiring-piring gorengan hangat yang tersedia nampaknya ikut meredam kemarahan Maryoto dan Samiun. Mereka pun duduk berebut penganan yang masih menghangat disertai dengan cabai yang baru saja dibeli dari bakul pasar. Namun rasa cabai itu tetap masih kalah pedas dengan berita yang sempat membuat mereka kecewa dengan pejabat di Jakarta. Bukan tanpa sebab mereka bertingkah seperti itu, karena bisa saja harapan mereka hancur untuk memperkarakan Sarkono, lurah nakal yang telah menggelapkan dana BLT warga Njetak sebesar 50% dari dana seharusnya, bila saja mereka mempunyai aparat berotak udang di Jakarta sana. Kebetulan mereka bertiga sekarang menjadi pengurus inti PPL Desa Njetak, singkatan dari Paguyupan Penggugat Lurah.
***
“Ada berita apa to Mas Miun?” Parto mencoba lirih bertanya. “Ah, kamu To, Parto! Biar kamu ndak bisa mbaca tapi kan bisa mendengar. Apa ndak lihat di tipi berita tentang Pak Antasari?” Samiun berusaha menjelaskan dengan majas ironi. “Hya, hya Mas. Memang siapa dia Mas, orang Jakarta yang katanya yu Painah Seorang Jagal Koruptor?” Parto berusaha untuk belajar mengerti. “Lah itu tau…!” Maryoto menambai dan sedikit memberi semangat. “Dia ketua KPK To, alias Komisi Pemberantasan Korupsi. Nah, KPK itu kerjanya memberangus pejabat-pejabat, anggota dewan, atau siapapun yang telah berlaku tidak halal memakan apapun yang bukan hak mereka. Kamu tahu korupsi itu apa to?” Terang Dullah sambil sesekali meneguk serbat yang baru saja dia pesan dari yu Painah. “Nah, selama ini dia bekerja dengan bagus. Memberantas tanpa pandang bulu dalam menangkap pelaku korupsi. Tentu dia tidak bekerja sendiri. Tapi di bawah kepemimpinannya KPK menjadi momok bagi para koruptor.” Imbuh Dullah. “Nah, tetapi… ada tetapinya… .” Sergah Maryoto buru-buru. “Apa Mar, tetapi mengapa?” Parto mendekat ke muka Maryoto dengan cepat. “Tetapi sekarang dia menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap sahabatnya yang juga seorang Kepala BUMN alias Badan Usaha Milik negara. Namanya Nasrudin. Karena cuma seorang perempuan… ya to.” Maryoto menjelaskan dengan mimik menyesal. “Perempuan…??” Parto nampak bingung. “Perempuan gimana to Mas Miun?” “Gini lo To, si Ansatari itu bersahabat dekat dengan Nasrudin. Dan si Nasrudin telah menikahi siri si perempuan. Tapi karena nafsu bejat, Antasari selingkuh dengan perempuan itu. Dan dikonangi si Nasrudin. Karena si Nasrudin mengancam membeberkan semuanya ke koran dan tipi, maka si Antasari ketakutan dan akhirnya membunuh Nasrudin. Ngerti kamu To?” Jelas Samiun panjang lebar. “Terus…?” Parto menghela nafas. “Terus ya dengerin saja televisi To, kamu juga bakal tahu. Tapi inget kita harus tetap menegakkan azaz praduga tak bersalah.” Dullah menambahkan. “Kok gitu to Lah! Kan harus nunggu nanti sore. Dan kalau sore kamu tahu sendiri aku kemana?” Muka Parto cemberut. “Ke sawah kan?” Dullah mengejek. “Gini saja To, kamu coba dengerin apapun nanti malam. Kamu nyalakan tipi dan hidupkan radio. Jika kamu mendengarkan dengan baik. Kamu akan tahu kasus ini! Dan sekarang, ayo kita makan nasi kare buatan yu Painah ini! Daripada ngomongin pejabat yang ndak jelas seperti mereka. Yang penting kasus kita dengan pak Lurah Sarkono jangan sampai terhenti. Toh KPK tidak harus identik dengan Pak Antasari. Ya to?” “Dan sekarang aku butuh cabe di depanmu To… Tolong kamu ambilkan semua, biar aku bisa pilih sendiri. Sini…!” Celetuk Samiun. “Yowis, monggo Mas. Diambil aja.” Parto mengangkat secuil kertas koran pembungkus cabai ke hadapan Samiun. “Terimakasih…” Samiun sambil mengayunkan kepala. Dia pun menaruh bungkusan kertas koran yang menjadi alas cabai yang tinggal beberapa batang. Ia memilih-milih cabai yang ranum. Ia mainkan jemari tangannya sambil mengorek-korek beberapa batang cabai dengan pelan-pelan dan kemudian berteriak keras, “Edan Parto… Kamu edan To!” Mereka semua terperanjat tak terkecuali yu Painah menghambur dari dapur belakang sambil berteriak, “Ada apa, ada apa…!” “Gila yu, dari tadi dia sudah melihat beritanya tentang si Antasari. Bahkan lebih dulu tahu dari aku, Kang Dullah, dan Mas Maryoto bahkan kamu Yu. Tapi dia ndak ngerti Yu.” Sambil ia menghentakkan kakinya beberapa kali ke tanah dengan mata membelalak kepada Parto. Dan dengan lugu Parto menjawab, “Apa to Mas, tentang orang dalam gambar itu? Orang yang mirip Gunaryo guru baru SD Njetak 1? Memang dia masih saudara dengan orang yang berada dalam foto itu?” Samiun menggelengkan kepala. Andai saja Kang Parto dapat membaca. Karena secuil kertas koran untuk bungkus cabai itu kebetulan memuat berita tentang sang Penjagal Koruptor. Dan jelas kelihatan sekali bahwa headline news mengatakan: Antasari Ditetapkan Menjadi Tersangka. Sayang kang Parto yang hanya lulusan Sekolah Dasar kelas satu tidak bisa menerjemahkan dengan baik gambar itu. “Kamu… Satro …” Bentak Samiun. “Ini adalah Pak Antasari. Dialah ketua KPK itu. Beritanya lengkap di sini. Dan bahkan perempuan yang dalam berita tipi tadi disebutkan dengan berinisial R, di sini ditulis lengkap bahwa namanya RANI.” “Siapa? Rani?” Bentak yu Painah sambil merebut koran bungkus cabai itu. Secepat itu ia langsung teringat dengan anak perempuannya yang bernama Rani. Ia pun cepat berpikir apakah anak semata wayangnya itu telah dijual oleh Japra mantan suaminya kepada ketua KPK itu untuk menjadi selingkuhannya. Yu Painah nampak kacau. Mukanya memerah. “Bukan yu… bukan Rani anakmu. Tapi ini Rani yang lain. Dia anak kuliahan semester dua. Profesinya sebagai tukang ambil bola golf… . Dan ini ada fotonya, nih lihat!” Mereka berlima mengamati dalam-dalam gambar Antasari dan insert foto Rani di kertas koran itu. Dan dengan memelas Parto berucap, “Ya maafkan aku Kang, Mas, Yu… gara-gara aku tidak bisa membaca kalian menjadi ribut begini.” Dan mereka berempat pun berderai tawa melihat tingkah Parto yang langsung beringsut menjauh sambil menunduk dan sesekali melirik mereka berempat. Yu Painah berujar pelan, “Andai bukan Rani yang digagahi oleh bapaknya, aku tidak akan semarah ini…. Andai saja orang lain.” Ia pun menghela nafas panjang. “Aku kadung tresno dengannya meski ia hanya sampah bagiku. Tapi dia tetap suamiku. Meski bukan ayah kandung Rani. Sebenarnya aku kangeen dengan Japra. Kangen dengan goblok dan setianya.” Ujar yu Painah sambil masuk ke dalam. Sosoknya yang setia kepada sang suami mirip dengan sosok istri Sang Penjagal Koruptor, seperti Laksmi. Dullah, Samiun, dan Maryoto pun saling berpandang mata. “Ternyata, yu Painah sama dengan Kang Parto, mereka mengartikan apa yang ada di depan mata mereka bukan dengan membaca peristiwa yang terjadi, tetapi mengartikan hanya dengan peristiwa yang mereka alami.” Ujar Dullah. Mereka bertiga duduk kembali dan meneruskan siang itu dengan berdiskusi tentang rencana PPL Desa Njetak yang akan tetap memejahijaukan Sarkono meskipun Antasari tidak lagi menjabat sebagai ketua KPK. Karena mereka percaya, pamor pemberantas kejahatan tindak pidana korupsi bukan terletak pada diri pimpinannya, tapi pada kesolidan organisasinya.
***

sumber " www.cerpen.net"

1 komentar: